SASTRA BANDINGAN: PINTU MASUK KAJIAN BUDAYA

Ada dua hal yang sangat mungkin menjadi problem dalam sastra bandingan (comparative literature) sebagai sebuah disiplin ilmu. Pertama, persoalan yang menyangkut konsep sastra bandingan. Dalam banyak rumusan atau definisi sastra bandingan pada umumnya, penekanan perbandingan pada dua karya atau lebih dari sedikitnya dua negara yang berbeda menjadi pusat perhatian yang utama. Jadi, sebuah perbandingan dua karya atau lebih yang berasal dari dua negara, termasuk ke dalam wilayah sastra bandingan. Jika kita membandingkan dua karya yang berasal dari dua kultur etnik yang berbeda –Sunda dan Jawa, misalnya—, padahal kedua karya itu berada dalam wilayah negara yang sama, apakah termasuk ke dalam wilayah sastra bandingan. Pertanyaan yang sama dapat diajukan ketika kita membandingkan sastra Singapura dengan sastra Taiwan yang keduanya memakai bahasa Mandarin atau sastra Brunei Darussalam dengan sastra Malaysia yang keduanya memakai bahasa Melayu. Pertanyaan yang sama tentu saja dapat kita kemukakan lebih panjang lagi. Jadi, jika kita mengamati karya-karya dari berbagai negara yang menggunakan bahasa yang sama atau sastra dari berbagai daerah dalam satu negara, maka ternyata bahwa rumusan sastra bandingan yang menekankan pada perbedaan negara, justru akan mengundang masalah konseptual. Dalam konteks itulah, perlu kiranya kita mempertanyakan kembali rumusan-rumusan sastra bandingan yang pernah ada.
Masalah kedua menyangkut praktik sastra bandingan sebagai sebuah kajian. Apakah praktik sastra bandingan hanya sebatas membandingkan dua teks sastra atau lebih jauh dari itu dengan mencantelkan analisis atau interpretasinya pada kebudayaan dan kehidupan kemasyarakatan yang melahirkannya. Jika perbandingannya itu hanya menyangkut dua atau lebih teks sastra yang berbeda, maka hasil perbandingan itu hanya akan sampai pada perbedaan dan persamaan tekstual. Dari sana mungkin kita akan sampai juga pada persoalan reputasi dan penetrasi, dan pengaruh-mempengaruhi. Jika demikian halnya, maka perbandingan itu akan tetap berkutat pada persoalan tekstual. Jadi, apakah tujuan sastra bandingan hanya sampai pada pengungkapan perbedaan dan persamaan dua teks atau lebih. Oleh karena itu, patutlah dipertimbangkan tujuan sastra bandingan yang tidak hanya sampai pada perbandingan dua teks sastra yang berbeda dan mengungkapkan persamaan dan perbedaan tekstual, tetapi juga coba menelusuri persamaan dan perbedaannya itu sebagai bagian dari dua produk budaya yang dilahirkan dari dua kehidupan sosio-budaya yang berbeda.
Sebelum memasuki pada pembicaraan beberapa karya sastra yang hendak dijadikan contoh kasus studi sastra bandingan, alangkah baik jika kita memperhatikan dahulu sejumlah rumusan mengenai sastra bandingan. Dari rumusan itu, serta dengan mengungkapkan beberapa kasus terjadinya problem konseptual, boleh jadi pula kita akan memperoleh rumusan yang lebih pas; atau paling sedikit, kita dapat meninjau sejauh mana rumusan sastra bandingan masih dapat dipertahankan dan alternatif apa yang perlu dikedepankan.

***


Dalam kamus Websters,[1] dikemukakan bahwa sastra bandingan mempelajari hubungan timbal balik karya sastra dari dua atau lebih kebudayaan nasional yang biasanya berlainan bahasa, dan terutama pengaruh karya sastra yang satu terhadap karya sastra lain. Sementara itu, menurut Rene Wellek dan Austin Warren[2] ada tiga pengertian mengenai sastra bandingan. Pertama, penelitian sastra lisan, terutama tema cerita rakyat dan penyebarannya. Kedua, penyelidikan mengenai hubungan antara dua atau lebih karya sastra, yang menjadi bahan dan objek penyelidikannya, di antaranya, soal reputasi dan penetrasi, pengaruh dan kemasyhuran karya besar. Ketiga, penelitian sastra dalam keseluruhan sastra dunia, sastra umum dan sastra universal.
Sejalan dengan pendapat Wellek dan Warren, Holman[3] mengungkapkan, bahwa sastra bandingan adalah studi sastra yang memiliki perbedaan bahasa dan asal negara dengan suatu tujuan untuk mengetahui dan menganalisis hubungan dan pengaruhnya antara karya yang satu terhadap karya yang lain, serta ciri-ciri yang dimilikinya.
Hal senada dikemukakan Remak[4] yang mengungkapkan sebagai berikut: “Sastra bandingan adalah studi sastra yang melewati batas-batas suatu negara serta hubungan antara sastra dan bidang pengetahuan dan kepercayaan lain.” Ringkasnya, sastra bandingan adalah perbandingan karya sastra yang satu dengan satu atau beberapa karya sastra lain, serta perbandingan karya sastra dengan ekspresi manusia dalam bidang lain. Lebih lanjut Remak menekankan, perbandingan antara karya sastra dan bidang di luar sastra hanya dapat diterima sebagai sastra bandingan, jika perbandingan keduanya dilakukan secara sistematis dan bidang di luar sastra itu dapat dipisahkan dan mempunyai pertalian logis.
Berdasarkan sejumlah definisi atau pengertian mengenai sastra bandingan, Robert J. Clements melihat sastra bandingan sebagai studi yang pendekatannya meliputi aspek: (1) tema/mitos, (2) jenis/bentuk, (3) aliran/zaman, (4) hubungan sastra dengan seni dan bidang lain, dan (5) sastra sebagai gambaran sejarah kritik dan teori sastra. [5]

***

Definisi yang tertulis dalam kamus Websters, jelas hanya memberikan pengertian yang sangat umum. Pertama, kamus itu bukan kamus khusus mengenai kesusastraan. Kedua, kamus itu merupakan kamus yang memuat kosa kata yang umum digunakan dalam bahasa Inggris. Dengan demikian, terlalu riskan jika kita melandasi pengertian sastra bandingan hanya dari sebuah entri yang terdapat dalam kamus umum seperti itu. Sesungguhpun begitu, ternyata rumusan yang umum itu dikemukakan pula oleh Wellek dan Warren dan Remak. Dalam konteks ini, kita masih dapat memperkuat rumusan itu dengan menyinggung sejumlah kasus dalam kesusastraan beberapa negara. Masalah yang menyangkut dua atau lebih kebudayaan nasional dan pengaruh karya sastra terhadap karya sastra lain, misalnya, dalam kesusastraan Indonesia, bukanlah hal yang baru. Sebutlah kasus Hamka--Manfaluthi[6] dan Chairil Anwar--Archibald Macleish.[7] Sebenarnya, kita masih dapat menyebut kasus serupa yang belum banyak diungkapkan. Novel Angin Musim (1986) karya Mahbub Djunaedi, misalnya, ternyata mempunyai banyak persamaannya dengan novel Natsume Soseki, I’m a Cat (1972).[8] Kedua novel ini menampilkan tokoh kucing yang menceritakan berbagai pengalaman manusia. Lewat tokoh yang lain, sastrawan Malaysia, Hassan Ibrahim dalam Tikus Rahmat (1963) menampilkan tokoh tikus berikut dunia pertikusannya. Dalam hal ini, Tikus Rahmat ternyata mempunyai kesamaan dengan Animal Farm (1945) karya George Orwell.
Untuk kasus-kasus yang disebut terakhir, boleh jadi kita masih dapat memasukkan persoalannya ke dalam wilayah sastra bandingan. Artinya, lewat studi sastra bandingan, kita masih dapat menerima bahwa sangat mungkin Mahbub Djunaedi terpengaruh oleh karya Natsume Soseki. Demikian pula dengan Hassan Ibrahim yang dari berbagai ulasan mengenai Tikus Rahmat, dianggap telah menyerap pengaruh Orwell.[9] Tetapi bagaimana dengan kasus Hamka dan Chairil Anwar yang telah disebutkan tadi, hanya sebatas pengaruh-mempengaruhi yang masih termasuk wilayah sastra bandingan, atau bentuk lain dari saduran? Atau, apa yang oleh Sapardi Djoko Damono disebut sebagai pengkhianatan kreatif?[10]
Kembali, jika perbandingan sejumlah karya yang disebutkan tadi hanya sebatas perbandingan antarteks, maka hasilnya hanya sampai pada pengungkapan persamaan dan perbedaan tekstual. Pertanyaan yang lebih substansial: mengapa terjadi persamaan dan perbedaan, tetap bersembunyi tanpa ada usaha untuk coba mengungkapkannya. Dan ketika kita coba menemukan jawabannya, maka tidak dapat lain, teks mesti diperlakukan merepresentasikan konteks sosio-kultural yang melahirkannya. Maka, perbandingan itu mestinya lebih jauh menyentuh latar belakang proses kelahiran teks yang tidak dapat dilepaskan dari kehidupan sosial budaya yang terjadi pada zamannya. Di sinilah tujuan sastra bandingan sesyogianya tidak berhenti hanya sebatas menemukan persamaan dan perbedaan tekstual, melainkan terus menukik pada berbagai persoalan kemasyarakat dan kebudayaan yang melahirkannya.
Sebagai contoh kasus, berikut akan dibincangkan tiga karya Inggris (Romeo dan Julia karya William Shakespeare), Jepang (Sonezaki Shinju karya Chikamatsu Monzaemon), dan cerpen Malaysia (“Uda dan Dara” karya Usman Awang).

***

Romeo dan Julia[11] karya William Shakespeare (1564—1616) menurut Trisno Sumardjo yang menerjemahkan karya itu, pokok ceritanya bersumber dari cerita lisan orang lain. Berikut keterangan yang disampaikan Sumardjo:

Menurut anggapan penduduk Verona, riwayat ini (Romeo dan Julia, MSM)) terjadi tahun 1303, dan pada kaum pelancong mereka tunjukkan rumah keluarga Capulet serta kubu pemakaman asyik masyuk itu. Tahun 1535 diterbitkan sebuah cerita pendek bernama La Giulietta oleh Luigi da Porto dari Vicenza, ditulis menurut kisah yang dituturkan padanya oleh seorang prajurit tua. Pada tahun 1554 dikisahkan oleh Bandello dalam cerita pendek Itali tentang hikayat Romeo dan Julia. Dari situ Pierre Boisteaux membuat cerita Perancis, dan tahun 1567 cerita ini dimasukkan oleh Painter dalam kumpulan ceritanya bernama Palace of Pleasures yng sering dipakai oleh Shakespeare. Sebelumnya, dalam tahun 1562 ada diterbitkan sebuah sajak epis dari tangan Arthur Brooke, namanya “The Tragicall Historye of Romeus and Juliet, written first in Italian by Bandell, and now in English by Ar. Br. (Arthur Brooke). Buah tangan Shakespeare lebih mendekati sajak ini daripada cerita Painter.[12]


Mencermati kutipan di atas, kita melihat bahwa cerita Romeo dan Julia merupakan cerita klasik yang sudah dikenal luas masyarakat sebelum Shakespeare mengangkat cerita itu ke dalam bentuk drama. Artinya adalah bahwa apa yang dilakukan Shakespeare atau sastrawan lainnya di dunia ini, bukanlah hal yang tabu dilakukan. Dalam hal ini, cerita-cerita lisan klasik atau karya-karya agung, tidak hanya berpotensi melakukan penetrasi dan menyebarkan pengaruhnya, tetapi juga inspiring (mengilhami), sehingga bermunculan cerita-cerita yang secara tematik mempunyai persamaan.[13] Pertanyaannya kini: apakah studi sastra bandingan cukup sampai pada kesimpulan adanya penetrasi dan pengaruh-mempengaruhi serta usaha mengungkapkan persamaan dan perbedaan secara tekstual atau juga mengungkapna faktor-faktor di luar teks?

Secara tematik, Romeo dan Julia bercerita tentang kisah kasih tak sampai yang menimpa diri pemuda Romeo dan gadis Julia. Permusuhan antara keluarga besar Montague –sebagai pihak Romeo—dan keluarga Capulet –sebagai pihak Julia—pada awalnya tidak dapat merintangi tumbuhnya perasaan cinta kedua sejoli itu. Romeo dan Julia pun bersepakat mengikat ikrar dalam tali perkawinan yang disahkan oleh pendeta Lorenzo. Tetapi, tewasnya kerabat dan sahabat Romeo, Mercutio oleh Tybalt, kerabat keluarga Capulet membuka kembali permusuhan antarkeluarga itu. Romeo terlibat dalam perkelahian berdarah. Pedangnya menewaskan Tybalt. Untuk menyelamatkan Romeo dari hukuman mati, pendeta Lorenzo menyuruhnya pergi dari Verona dan tinggal di Mantua.

Sementara itu duka cita Julia atas perpisahan dengan Romeo, dilihat oleh Capulet dan istrinya sebagai kesedihan atas kematian Tybalt. Maka, ketika datang Paris, pemuda bangsawan melamar Julia, keluarga Capulet menyambutnya bahagia. Hari perkawinan pun kemudian ditetapkan.

Julia tentu saja menolak rencana kedua orang tuanya menjodohkan dengan Paris. Tetapi, kesepakatan telah dibuat, hari perkawinan telah ditetapkan. Julia tak dapat berbuat apa-apa. Ia pun mendatangi pendeta Lorenzo. Untuk menyelamatkan kesucian cinta Romeo—Julia, pendeta Lorenzo merancang rencana. Disuruhlah Julia minum racun menjelang pesta perkawinan dengan Paris dilaksanakan. Menurut Lorenzo, jika racun itu diminum, Julia akan terbujur kaku seperti orang mati. Dua hari kemudian, ia akan siuman kembali. Pada saat itulah, Romeo datang dan membawa Julia pergi meninggalkan Verona.
Pesta perkawinan dengan Paris memang gagal. Julia dianggap mati bunuh diri karena minum racun. Jasadnya dimasukkan dalam peti mati dan kemudian disimpan di tempat pemakaman. Tetapi rencana tinggal rencana. Kabar yang diterima Romeo bukanlah skenario yang disusun pendeta Lorenzo, melainkan kabar tentang kematian Julia. Maka, Romeo segera datang ke pemakaman tempat Julia disemayamkan. Di sana, ia jumpa Paris. Perkelahian pun tak terhindarkan. Paris tewas. Romeo yang sudah putus pengharapannya, segera minum racun yang telah disiapkannya. Ia pun mati.
Beberapa saat setelah kematian Romeo, Julia siuman. Betapa kaget ketika dilihatnya Paris mati bersimbah darah dan Romeo terbujur kaku dengan tangan masih memegang botol racun. Menyadari segalanya telah berakhir, Julia mencabut belati Romeo dan ditusukkannya ke dadanya sendiri. Julia pun tewas seketika.
Tidak lama kemudian datanglah pendeta Lorenzo, Pangeran, keluarga Capulet dan keluarga Montague. Pendeta Lorenzo lalu menjelaskan duduk perkaranya. Tetapi, semua sudah terlambat. Penyesalan tak berguna lagi. Kedua keluarga –Capulet dan Montague—yang selama ini bermusuhan, menyadari kekeliruannya. Mereka pun bersepakat untuk mencipakan perdamaian.
Tragedi percintaan yang membawa kematian sepasang kekasih, dapat pula kita jumpai dalam karya Chikamatsu Monzaemon (1653—1724),[14] berjudul Sonezaki Shinju (1703).[15] Hubungan percintaan Tokubei dan Ohatsu tidak sampai ke pelaminan, karena Tokubei yang menolak dikawinkan dengan kemenakan pamannya, tidak dapat membayar biaya hidupnya selama tinggal bersama pamannya, yang juga majikannya.
Kisahnya dimulai dari perjumpaan Tokubei dan Ohatsu di sebuah kuil. Tokubei bekerja sebagai karyawan kedai kecap milik pamannya, sedangkan Ohatsu bekerja sebagai wanita penghibur di kedai Temaya. Kedua insan itu menjalin hubungan cinta secara sembunyi-sembunyi.
Kegigihan dan kejujuran Tokubei rupanya mengundang simpati pamannya. Muncullah rencana menjodohkan Tokubei dengan wanita kemenakan istri pamannya. Untuk melaksanakan rencana itu, pamannya sudah memberi uang sebanyak satu setengah juta yang diserahkan kepada ibu tiri Tokubei. Karena cinta Tokubei sudah jatuh pada Ohatsu, ia menolak rencana pamannya. Penolakan ini tentu saja membuat pamannya marah. Tokubei diusir dari Osaka. Ia juga harus mengganti uang yang sudah diterima ibu tirinya, ditambah dengan uang selama ia tinggal bersama pamannya.
Dengan berbagai cara, Tokubei berhasil mendapatkan uang sejumlah yang dituntut pamannya. Tetapi sebelum uang itu diserahkan kepada pamannya, Kuheiji, sahabat Tokubei, meminjamnya dan akan melunasinya sehari sebelum waktu yang ditetapkan pamannya. Pada hari yang dijanjikan Kuheiji, Tokubei jumpa dengan sahabatnya itu. Tetapi Kuheiji malah menuduh Tokubei hendak menipunya. Tokubei pun dianiaya Kuheiji dan teman-temannya.
Menyadari bahwa Tokubei mustahil dapat melunasi uang yang dituntut pamannya, ia menyampaikan masalahnya kepada Ohatsu, kekasihnya. Ohatsu juga menyadari, perkawinannya (di dunia) dengan Tokubei akan menghadapi kegagalan. Sepasang kekasih itu akhirnya bersepakat untuk mengakhiri hidup mereka di dunia, agar mereka bisa melaksanakan pernikahannya di akhirat.
Bersusah payah Tokubei dan Ohatsu pergi ke hutan Sonezaki. Di sanalah keduanya mengakhiri hidupnya. Di dunia, sepasang kekasih itu memang gagal melaksanakan perkawinannya, tetapi dengan cara melakukan shinju,[16] terbukan jalan lempang untuk melaksanakan perkawinan mereka di akhirat.
Kasih tak sampai, juga diangkat Usman Awang dalam cerpennya “Uda dan Dara”.[17] Percintaan Uda dan Dara akhirnya kandas lantaran perbedaan status sosial. Lamaran Uda yang miskin, ditolak Ibu Dara, karena keadaan keluarga Uda yang miskin tidak sebanding dengan keadaan keluarga Dara yang kaya.
Penolakan itu membuat Uda bertekad pergi ke kota untuk mengubah taraf hidupnya. Tetapi, karena terlalu payah bekerja keras, Uda jatuh sakit. Ia kembali ke desanya dalam keadaan sakit parah. Kematian pun segera menjemputnya, tanpa sempat berjumpa dengan Dara untuk yang terakhir kalinya.
Kematian Uda tentu saja membuat Dara, tidak hanya merasa sangat bersalah, tetapi juga membuatnya kehilangan gairah hidup. Ia mengabaikan pertunangannya dengan lelaki kaya, mengabaikan masa depannya. Dara pun sakit hingga maut menjemputnya. Pesan terakhirnya, ia dimakamkan di samping kuburan Uda. Dua makan berdampingan: “Uda dan Dara sebagai pelambang cinta kasih yang teguh dan murni” (hlm. 153).

***

Dua naskah drama Romeo dan Julia dan Sonezaki Shinju serta sebuah cerpen “Uda dan Dara” memperlihatkan sebuah tema yang sama: kasih tak sampai. Apakah praktik sastra bandingan sebatas membandingkannya secara tekstual? Dalam praktik sastra bandingan dikatakan, bahwa perbandingan itu dilakukan secara sistematik dan punya pertalian yang logis. Dari sana memang kemudian akan tampak adanya persamaan dan perbedaan. Kasus Romeo dan Julia, misalnya, dilatarbelakangi oleh permusuhan keluarga, sedang dalam Sonezaki Shinju penyebabnya didasari oleh “kepercayaan” sang paman atas kinerja dan pengabdian kemenakannya. “Kepercayaan dan penghargaan” itu kemudian direpresentasikan melalui keinginannya menjodohkan Tokubei dengan kemenanakan istrinya. Jika saja Tokubei menuruti kehendak pamannya, maka selain ia memperoleh kepercayaan yang makin besar dari pamannya itu, juga mendapatkan kedai sendiri untuk mengembangkan usahanya. Jadi, usaha yang dilakukan paman Tokubei sesungguhnya merupakan bentuk penghargaan dan sekaligus kepercayaan.
Dalam “Uda dan Dara” persoalan yang mendasarinya adalah perbedaan status sosial. Keluarga Uda yang miskin, tak layak bersanding dengan keluarga Dara yang kaya. Demikian juga, keyakinan Ibu Dara yang menafikan keteguhan cinta telah membutakan mata hatinya. Perkawinan, sebagaimana yang dijalaninya, cukup bermodalkan keikhlasan menerima, tanpa perlu harus didasari perasaan cinta. Itulah yang dijalani Ibu Dara yang ternyata juga berjalan baik-baik saja. Ia lupa, bahwa zaman telah berubah. Apa yang dijalaninya dulu, belum tentu cocok diterapkan sekarang.
Pertanyaannya kini: apakah praktik sastra bandingan cukup sampai menemukan persamaan dan perbedaan tekstual? Di sinilah sesungguhnya tujuan sastra bandingan menjadi penting jika persoalan persamaan dan perbedaan tekstual itu digunakan sebagai pintu masuk untuk mengungkapkan problem sosio-kultural. Maka, tujuan sastra bandingan akan bermuara pada pemahaman budaya berbagai bangsa yang justru menjadi ruh yang menjiwai karya sastra. Bukankah karya sastra pada hakikatnya merupakan representasi ruh kebudayaan yang melahirkannya?
Kasus Romeo dan Julia menunjukkan bahwa persaingan pengaruh antar-keluarga bangsawan kerap menciptakan korban para pengikutnya. Di sana juga tampak, bahwa posisi gereja begitu kokoh dan berpengaruh. Bagaimana mungkin Julia begitu percaya pada Pendeta Lorenzo hingga ia mempunyai keberanian untuk minum racun. Begitu juga adanya larangan jual-beli racun secara bebas, tidak hanya memperlihatkan maraknya penyalahgunaan racun pada masa itu, tetapi juga menunjukkan tingkat kemajuan dunia obat-obatan. Kematian Romeo oleh racun ganas dan “kematian sementara” Julia oleh racun yang prosesnya bekerja sampai pada waktu tertentu merupakan bukti mengenai kemajuan dunia obat-obatan di sana ketika itu.
Jika kasus yang dialami Julia terjadi dalam masyarakat Islam, tentu saja tidak rasional, karena kematian seseorang akan langsung dikuburkan ke dasar bumi, dan tidak ditempatkan dalam sebuah peti mati yang disimpan di pekuburan dengan posisi yang tertentu. Waktu itu, di sana juga sedang terjadi wabah penyakit lepra yang dianggap sebagai penyakit yang sangat berbahaya dan menakutkan. Wabah itu pula yang menyebabkan utusan pendeta Lorenzo gagal menjumpai Romeo dan memutuskan kembali ke Verona. Sejumlah hal itulah yang mestinya diungkapkan dalam praktik sastra bandingan sebagai bagian penting untuk memahami kondisi sosial-budaya masyarakat lain dari bangsa yang lain.
Mengenai kasus bunuh diri Romeo dan Julia menjadi tak penting secara ideologis, karena fokus masalahnya jatuh pada persoalan kesetiaan dan cinta suci. Keduanya –cinta dan kesetiaan—menjadi hal yang jauh penting dalam kehidupan ini. Jadi, kematian Romeo dan Julia adalah simbol ketika cinta suci dihalangi oleh dendam dan kemarahan. Romeo dan Julia adalah korban, betapa berharganya cinta bagi manusia.
Makna kematian Romeo dan Julia tentu saja berbeda dengan kasus kematian yang terjadi pada diri Tokubei dan Ohatsu. Bunuh diri bersama atas nama cinta (shinju) [18] sesungguhnya dilandasi oleh sikap budaya dan sistem kepercayaan yang berlaku dalam masyarakat Jepang pada waktu itu. Shinju ‘bunuh diri bersama’ bagi Tokubei dan Ohatsu adalah pilihan yang tidak hanya untuk mempertahankan martabat dan harga dirinya,[19] tetapi juga representasi kepercayaannya pada dunia yang lain. Shinju merupakan pilihan untuk mewujudkan perkawinan di dunia yang lain. Pandangan atas kehidupan duniawi yang sementara (carte diem), kesetiaan sebagai sikap yang akan mengantarkan seseorang mencapai nirwana, dan kematian sebagai pintu masuk alam keabadian, menunjukkan sikap budaya dan sistem kepercayaan masyarakat Jepang pada masa itu. Di sana ada pengaruh kuat doktrin Buddha Zen.[20]
Bukankah apa yang dilakukan Tokubei dan Ohatsu tidak dapat dibenarkan jika tindakan yang sama dilakukan Uda dan Dara. Kematian Uda dan Dara melalui proses sakit merupakan pilihan yang paling dapat diterima berdasarkan sistem kepercayaan dan norma masyarakat yang melahirkan dan berlaku dalam doktrin Islam dan dunia Melayu. Dengan begitu, citra Uda dan Dara, tetap dalam posisi yang terhormat sebagai simbol cinta suci dua anak manusia. Uda dan Dara adalah korban ketika cinta dipandang dari sudut materi dan status sosial.

***

Demikianlah, praktik sastra bandingan pada akhirnya akan sampai pada muara persamaan tentang sifat dasar manusia. Di mana pun, kapan pun, dengan latar belakang kultur, ideologi atau agama apa pun, manusia tidak akan terlepas dari sifat dasarnya sebagai manusia. Masalah kemanusiaan pada dasarnya berlaku universal, dan itu telah diperlihatkan dalam tiga karya yang dibincangkan tadi. Dalam hal ini, sastra bandingan akan menghasilkan persamaan ketika yang diangkat adalah persoalan kemanusiaan.
Bahwa di sana ada perbedaan, perbedaan itu tidak terlepas dari persoalan kebudayaan dan kepercayaan yang mendekam dan berada di belakangnya. Praktik sastra bandingan mestinya mengungkapkan tidak hanya sampai pada persamaan dan perbedaan tekstual, melainkan juga pada persamaan kemanusiaan universal dan perbedaan sosio-kultural, ideologi, dan sistem kepercayaan.
Agaknya, gagasan ini patut dipertimbangkan.

*Kertas Kerja Seminar Kesusasteraan Bandingan Antarbangsa 2007 diselenggarakan Persatuan Kesusasteraan Bandingan Malaysia, Kuala Lumpur, 8—9 Juni 2007 di Menara Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur, Malaysia.

** Staf Pengajar Program Studi Indonesia, anggota Departemen Ilmu Susastra Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia.

[1]Webster’s Third New International of English Language Unabridged, (Massachusetts, 1966), hlm. 462.


[2] Rene Wellek dan Austin Warren, Teori Kesusastraan, terj. Melani Budianta, (Jakarta, 1989), hlm. 46--49.


[3] C. Hugh Holman, “The Nonfiction-Novel,” American Fiction 1940-1980: A Comprehensive History and Critical Evaluation, (New York, 1984), hlm. 94.


[4] Henry H. Remak. “Comparative Literature,” Newton P. Stalltnech and Horst Prenz (Ed.), Contemporarry Literature: Methode & Perspective, (Carbondale & Edwardsville, 1971), hlm. 1--7.


[5] Robert J. Clement, Comparative Literature as Academic Discipline, (New York, 1978), hlm. 8.

[6] Bandingkan novel Tenggelamnya Kapal van der Wijck (1939) dan Di Bawah Lindungan Kabah karya Hamka, dengan novel Magdalena (1964) dan Al-Yatim karya Al-Manfaluthi.


[7] Bandingkan puisi Chairil Anwar, “Krawang Bekasi” dengan puisi Archibald Macleish, “The Young Dead Soldier”. Periksa juga H.B. Jassin, Chairil Anwar Pelopor Angkatan 45, (Djakarta, 1956).
[8] Novel karya Natsume Soseki ini aslinya berjudul Wagahai wa Neko de Aru. Terbit pertama kali tahun 1905 di majalah Hototogisu (Cuckoo). Aiko Ito dan Greeme Wilson kemudian menerjemahkannya ke dalam bahasa Inggris tahun 1972.
[9] Mohd. Yusuf Hasan, Tikus Rahmat hampir menyerupai novel Animal Farm? Berita Minggu, 12 Mei 1974. Lihat juga, Umar Junus, Ikhtisar dan Analisa Novel-novel Melayu, (Kuala Lumpur, 1971), hlm. 60-68.
[10] Sapardi Djoko Damono menyebut “penerjemahan” karya sastra sebagai “pengkhianatan kreatif”, sebab menurutnya, penerjemahan karya sastra memerlukan kreativitas penerjemahnya, sehingga boleh jadi karya terjemahannya itu menjadi lebih baik daripada karya aslinya, sebagaimana yang dilakukan Chairil Anwar. Jika begitu, mestinya masalah saduran juga termasuk wilayah sastra bandingan.
[11]Trisno Sumardjo menerjemahkan Romeo and Juliet (1595) karya William Shakespeare dengan Romeo dan Julia (Jakarta: Pembangunan, 1955; cetakan kedua diterbitkan Pustaka Jaya tahun 1976). Nama Julia digunakan tentu saja dimaksudkan agar nama itu lebih akrab dengan pembaca Indonesia.


[12] William Shakespeare, Romeo dan Julia, terjemahan Trisno Sumardjo, Jakarta: Pustaka Jaya, 1976, hlm. 151.
[13]Satu contoh lain dapat dikemukakan di sini. Cerita Hayy Ibn Yaqzhan karya Ibn Thufail (1106—1185), misalnya, menyebarkan pengaruhnya begitu luas. Ibn Thufail tidak hanya berhasil mengintegrasikan deskripsi anatomi, astronomi, dan filsafat Islam sebagai naluri, intuisi, dan akal murni tokoh Hayy, tetapi juga menjadikan cerita itu secara tematbegitu menarik. Tidak sedikit pemikir yang menempatkan karya itu dalam kerangka pemikiran filosofis Ibn Thufail. Tetapi, banyak pula yang mengaguminya sebagai karya sastra yang bernilai tinggi. Penerjemahan Hayy Ibn Yaqzhan ke dalam banyak bahasa dan pengaruhnya yang luas merupakan bukti pentingnya karya itu. Dipercayai pula, Daniel Defoe (1661-1731) dalam karyanya, Robinson Crusoe (1719), Jonathan Swift (1667--1745) dalam Gullivers Travels, dan Rudyard Kipling (1856--1936) dalam Jungle Books (1894), langsung atau tidak, terpengaruh karya Ibn Thufail. Jika mencermati karya Ibn Thufail itu sendiri, beberapa bagiannya mempunyai persamaan dengan kisah Nabi Musa. Oidipus Sang Raja karya Sophokles atau cerita rakyat Pasundan, Sangkuriang dan Ciung Wanara, juga mempunyai beberapa persamaan dengan kisah Nabi Musa.

[14]Dalam kesusastraan Jepang, Chikamatsu Monzaemon dikenal sebagai Shakespeare-nya Jepang. Ia telah menghasilkan 130 naskah drama.


[15]Sonezaki Shinju yang digunakan sebagai contoh kasus tulisan ini berdasarkan terjemahan Darsimah Mandah (Belum dipublikasikan). Sonezaki Shinju dalam kesusastraan Jepang termasuk naskah drama bunraku, yaitu naskah yang dipentaskan dalam sebuah gedung kesenian. Ada dua jenis bunraku, yaitu sewamono dan jidaimono. Sewamono yaitu drama yang mengisahkan kehidupan sehari-hari masyarakat perkotaan pada zaman Edo sedangkah drama jidaimono mengisahkan peristiwa sejarah pada zaman Heian sampai zaman Muromachi, yaitu terjadi serangkaian peperangan para samurai dengan kelompok bangsawan.


[16]Shinju: Mati bersama dua insan yang tidak dapat mewujudkan cintanya di dunia. Dengan kematian itu, keduanya akan melaksanakan perkawinannya di akhirat.

[17]Cerpen “Uda dan Dara” dimuat dalam antologi cerpen Mekar dan Segar, diselenggarakan Asraf (Kuala Lumpur: Oxford University Press, 1959), hlm. 132—153.
[18]Shinju bagi masyarakat Jepang adalah perbuatan ksatria, terhormat, dan menunjukkan bahwa ia berada di jalan yang benar. Shinju juga sebagai representasi kebertanggungjawabannya sebagai manusia. Maka, shinju dipandang sebagai perbuatan yang sangat terhormat, sebagai bentuk tanggung jawab dalam menjalankan tugas, serta sebagai usaha menunjukkan kesetiaannya yang paling tinggi. Bagi masyarakat Islam tentu saja konsep itu tidak dapat diterima. Dengan demikian, penilaian atas satu kebudayaan atau kepercayaan, tidak dapat lain, harus berdasarkan kebudayaan dan kepercayaan yang bersangkutan, dan bukan berdasarkan kepercayaan atau kebudayaan lainnya.
[19]Pembahasan lebih lanjut tentang shinju, harakiri, jibaku, atau jisatsu, akan sampai pada konsep giri dan ninjo yang berkaitan dengan persoalan harga diri, tanggung jawab, kesetiaan, dan pengabdian. Jadi, bunuh diri punya makna positif sebagai bentuk kebertanggungjawabannya atas kepercayaan yang diemban, dan tidak sebaliknya. Sikap dan etika budaya itu telah tertanam sejak zaman Tokugawa (1603—1867) yang jejaknya sampai sekarang dapat dijumpai pada sikap para pejabat di Jepang yang mengundurkan diri sebagai bentuk tanggung jawab menjalankan tugas.
[20]Keyakinan Tokubei dan Ohatsu bahwa mereka akan melaksanakan perkawinannya di akhirat bersumber dari ajaran Buddha tentang rinne, yaitu perjalanan transmigrasi dan kelahiran kembali (reinkarnasi) sebagai hasil dari karya seseorang. Cinta suci kedua kekasih itu di dunia memang mendapat halangan, tetapi di akhirat mereka akan memperoleh buah dari kesetiaan berpegang pada cinta suci.

0 komentar: