MENGAPA PIM HARUS DIRELOKASI ?: ARGUMENTASI ARKEOLOGIS
Dr. Agus Aris Munandar*


Di lokasi bakal tempat PIM (Pusat Informasi Majapahit) yang telah digali pondasinya itu memang situs. Kalangan peneliti arkeologi menjulukinya Situs Segaran III, IV, dan V. Penamaan itu didasarkan kepada pembagian sektor penelitian arkeologi karena dekat dengan kolam luas Segaran yang berukuran 375 x 175 m, dalamnya sekitar 3 m. Lokasi calon PIM semula, dalam perspektif arkeologi masih dapat disebut “aman”, karena memang di lokasi itu penggalian tanah liat untuk bata oleh penduduk di linggan-linggan belum dilakukan, maklum tanah di lokasi tersebut telah menjadi milik pemerintah. Lokasi itu jadi tidak ranap dengan tanah sekitarnya, agak membukit karena memang belum “diapa-apakan”. Setelah “Geger Trowulan” selama berhari-hari di mass media yang dipelopori oleh KOMPAS mulai hari Minggu, 4 Januari 2009, dan disokong oleh berbagai berita sejenis di mass media lainnya, maka lokasi proyek Pusat Informasi Majapahit itu harus direlokasi.

Semua pihak mengakui bahwa pada prinsipnya pembangunan PIM bertujuan baik dan elegan, namun yang disesalkan adalah prosedur yang ditempuh terlalu terburu-buru, sehingga terjadi kekeliruan dalam penentuan lokasi. Banyak kalangan yang mengusulkan agar dipindah, Mentri Jero Wacik akhirnya menyetujui, tetapi alasan ilmiah pemindahan itu belum dijelaskan dengan baik oleh para penganjur pemindahan lokasi. Hanya dinyatakan oleh tim evaluasi dan para arkeolog bahwa lokasi sekarang adalah situs penting, bekas permukiman masa Majapahit, proyek telah merusak situs warisan nenek moyang, karenanya harus dihentikan. Sebenarnya argumentasi nilai penting itu tidak pernah dijelaskan secara jelas sampai sekarang, sehingga tidak terangkat ke permukaan seberapa jauh keistimewaan situs tersebut. Berikut dikemukakan beberapa argumentasi dari sudut pandang arkeologi klasik Indonesia tentang alasan dipindahkannya lokasi PIM ke tempat lain, dengan meninggalkan situs Segaran III, IV, dan V yang telah terkoyak-koyak dan mustahil dikembalikan seperti aslinya lagi.

Dalam pandangan arkeolog yang meneliti Trowulan, situs itu merupakan:

1.Multicomponent sites
Dalam persiapan untuk menentukan titik-titik pondasi gedung PIM yang semula direncanakan di situs Segaran III, IV, dan V (sebelah selatan Gedung Museum Situs Trowulan), telah dilakukan penggalian penyelamatan terhadap temuan dan struktur bata yang terdapat di area situs tersebut. Penggalian arkeologi secara cepat pun dilakukan oleh para arkeolog yang bertugas dalam kegiatan tersebut. Di beberapa lokasi penggalian tidak ditemukan struktur apapun yang berarti, logikanya lokasi itu dianggap aman untuk digali lebih dalam sebagai lubang tiang pondasi. Pada kenyataannya setelah suatu lokasi dianggap “aman” kemudian diperdalam, ternyata di lapisan-lapisan tanah lebih dalam dari 30-100 cm ditemukan struktur bata, dan temuan arkeologi lainnya. Artinya jika di bagian lapisan permukaan (atas) “aman”, tidak berarti pada lapisan bawahnya tidak ada benda arkeologi. Situs Segaran III, IV, dan V merupakan multicomponent sites, atau situs yang memiliki temuan arkeologi berlapis.

Dalam ekskavasi yang dilakukan di situs-situs lain di Trowulan para arkeolog mendapatkan 3 lapisan temuan benda-benda masa lalu. Maka diasumsikan bahwa lapisan paling bawah merupakan struktur peninggalan era Majapahit awal, lapisan tengah merupakan peninggalan lapisan budaya Majapahit pada masa kejayaannya, karena temuannya yang selalu baik, rapi, dan tertata apik, dan pada lapisan paling atas adalah tinggalan dari zaman Majapahit menjelang keruntuhannya, temuannya menunjukkan adanya pekerjaan yang asal-asalan, terkesan terburu-buru, dan asal jadi. Bisa saja lapisan budaya Majapahit paling atas itu tidak ada, karena memang di suatu lokasi hanya dikenai aktivitas era Majapahit awal dan kejayaannya, atau juga hanya pada masa kejayaan Majapahit saja, tetapi dapat juga lengkap 3 lapisan budaya Majapahit itu hadir di lokasi yang sama.

2.Area situs permukiman yang langka

Kandungan yang terdapat di situs Segaran III pernah digali secara bertahap oleh mahasiswa departemen arkeologi FIB Universitas Indonesia dalam beberapa tahun belakangan ini. Maka dapat diketahui berdasarkan sebagian area situs yang dibuka itu adalah suatu situs pemukiman masa Majapahit yang padat, namun teratur baik. Di situs tersebut terdapat,

a.Deretan perumahan
Sejumlah pondasi bangunan hunian menunjukkan adanya deretan rumah-rumah dengan orientasi utara-selatan, namun telah mengalami deviasi sekitar 10—120 ke arah timur laut-barat daya. Jadi orientasinya sudah berada di kwadran timur laut-barat daya. Berdasarkan temuan struktur bata hasil ekskavasi dapat diketahui bahwa rumah-rumah itu berdenah empat persegi panjang, berbilik dengan dinding dari bahan cepat rusak, beratap bentuk perisai, dan data lainnya. Rumah hunian Majapahit hasil rekonstruksi pernah dipamerkan dalam Pameran Majapahit di Museum Nasional Jakarta.

b.Pedestrian di permukiman
Data penting lainnya yang tidak pernah dijumpai di situs masa Klasik Indonesia adalah hamparan jalan di pemukiman yang ditata rapi. Jalan tersebut tidak terlalu lebar, sekitar 1,30 m, bagian tepinya dibatasi dengan bata tebal dan kuat, badan jalan diisi dengan batu-batu bulat, besar dan kecil saling mengisi rapi dan ketat. Terdapat segmen jalan yang batu isiannya adalah batu-batu bulat sekepalan berwarna putih, mungkin ini adalah jalur jalan pemukiman yang utama, karena seluruh permukaan jalan ditutup dengan mosaik batu putih.

c.Saluran pembuangan air
Cukup mengagumkan bahwa pemukiman Majapahit dalam abad ke-14 tersebut dilengkapi dengan selokan dan saluran air yang berhubungan dari rumah ke rumah lalu menuju parit yang lebih besar. Di bagian-bagian tertentu saluran air itu tidak terlihat, karena masuk dalam tanah, dan di tempat itulah digunakan pipa-pipa terakota yang disambung-sambungkan untuk jalan air mengalir. Saluran air ada di bagian samping dan depan rumah, untuk menampung jatuhnya air hujan dari ujung penutup atap dan juga untuk mengalirkan air yang digunakan untuk mencuci kaki di anak tangga, di depan pintu.

d.Tempayan air: pādyārghyācamaniya
Berdasarkan data hasil penggalian di situs tersebut didapatkan pecahan tempayan besar, dan sangat mungkin diletakkan di bagian depan rumah-rumah. Data penggalian memperlihatkan bahwa pecahan tempayan selalu ditemukan di samping deretan anak tangga yang menuju pintu rumah. Keadaan situs seperti itu dengan adanya tempayan besar di dekat trap tangga naik masuk rumah tidak pernah dijumpai di area lainnya di Trowulan.

Majapahit

Dalam masyarakat Jawa Kuno dan juga dalam masyarakat Majapahit, dikenal adanya upacara membersihkan kaki, tangan dan tubuh dengan menggunakan air dalam tempayan. Upacara itu dilakukan di depan rumah, sebelum seseorang memasukinya. Selain digunakan untuk upacara yang bersifat religius dinamakan pādyārghyācamaniya (menyucikan telapak kaki dan tubuh dari pengaruh jahat), air dalam tempayan juga berfungsi praktis, yaitu untuk mencuci kaki agar bersih sebelum masuk rumah yang dihampari tikar pandan, maklum masa itu belum ada terompah, kasut, atau sepatu, pastinya jika musim hujan kaki orang Majapahit kotor blepotan lumpur dan tanah becek, jadi harus dibersihkan sesaat sebelum masuk rumah.

e.Gugusan bangunan tempat tinggal: Pakuwon
Berdasarkan data hasil penggalian arkeologi, dapat diketahui bahwa situs tersebut menunjukkan adanya gugusan bangunan tempat tinggal atau dalam bahasa Jawa Kuno dinamakan pakuwuan (pakuwon). Dapat diketahui bahwa yang dimaksud dengan rumah dalam masa Majapahit merupakan kumpulan bangunan yang dipagar keliling tinggi dengan gerbang candi bentar (gapura terbelah) di halaman depan dan gerbang kori (gapura beratap) di halaman inti. Apa yang dipahatkan dalam relief tentang penggambaran rumah bangsawan Majapahit, ditemukan keadaan sebenarnya walaupun tidak lengkap lagi dalam suatu situs.

3.Madyaning madya Wilwatikta
Apabila kawasan situs Trowulan dibagi dalam sistem Tri Angga yang terdiri dari 9 area (sanga mandala), maka hasilnya cukup mengejutkan. Dalam sistem sangamandala ternyata kolam Segaran dan sekitarnya (termasuk situs Segaran III—V) berada dalam area tengah, madyaning madya Trowulan, jadi area tengahnya kota Wilwatikta (Majapahit). Hal itu sejalan dengan konsep alam semesta menurut ajaran Hinduisme ataupun Buddhisme bahwa titik tengah alam itu adalah Gunung Mahameru yang dikelilingi oleh 7 samudera dan rangkaian pegunungan berselang-seling. Dalam asumsi ini mengemuka pendapat bahwa dahulu di tengah kolam Segaran sangat mungkin terdapat bangunan bale kambang simbol Mahameru, hanya saja sekarang tidak tersisa lagi. Dalam cerita-cerita mitologi Hindu terdapat ajaran yang menghala kepada ungkapan “menggangu Mahameru, berarti mengganggu keseimbangan seluruh alam semesta”.

4. Pusat Aktivitas Ritual
Jelas apabila dikaitkan dengan konsep titik tengah Majapahit, maka areal sekitar kolam Segaran merupakan pusat aktivitas ritual. Kegiatan upacara keagamaan di masa silam kerapkali dilakukan di tepian kolam Segaran. Pastinya terdapat lingkaran-lingkaran sakral berlapis yang berawal dari kolam Segaran sebagai titik tengah, berangsur-angsur ke luar menjauhi kolam. Dalam konsepsi Hindu mestinya terbagi dalam 3 lapis area (bhur-, bhuwar-, dan swarloka), tetapi batas area itu belum dapat diketahui. Seluruh temuan di sekitar kolam Segaran sebenarnya adalah rekaman aktivitas ritual masyarakat Majapahit yang harus segera diungkapkan, bukan malahan dirusak.

5.Tabir pembuka misteri lokasi kedaton
Adalah masalah penting yang didambakan segera dipecahkan oleh para ahli, yaitu lokasi kedaton Majapahit. Kedaton yang diuraikan dalam kakawin Nagarakrtagama pupuh 8—12 adalah milik Hayam Wuruk, perihal itu telah banyak ahli yang mencoba menggambarkan keadaan keraton dan mencocokkannya dengan keadaan situs Trowulan Sebut saja Maclaine Pont (1924), W.F.Stutterheim (1948), Th.G.Th.Pigeaud (1960—62), Slamet Mulyana (1965), dan A.A.Munandar (2005) namun tafsiran mereka masih belum memuaskan. Jika pengetahuan tentang situs Segaran dapat segera diungkapkan (jadi tidak dirusak), diharapkan lokasi kedaton Wilwatikta dapat segera diidentifikasikan. Pada prinsipnya sistem tata kota lama zaman Klasik telah diketahui oleh para arkeolog, hanya perlu diketahui titik awal penentuan itu, lalu berangsur-angsur bergerak menuju lokasi di mana kedaton itu pernah berada.



*Dr. Agus Aris Munandar
Arkeolog UI
(Manajer Riset dan Pengabdian Masyarakat
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia)

0 komentar: