Berharap kepada Allah atau terlena oleh tipuan syaithan?

Tidak sedikit orang yang jatuh dalam dosa dan kemaksiatan bahkan mereka berani meremehkan dosa-dosa tersebut. Mereka mengatakan, bukankah Allah Maha Pengampun? bukankah Allah akan mengampuni dosa selain syirik? bukankah Allah Maha Pengasih? dan seterusnya…yang pada akhirnya mereka terus-menerus dan meremehkan dosa-dosa. Mereka lupa bahwa Allah juga mempunyai adzab yang sangat pedih.
Harapan atau lamunan?
Berharap kepada Allah adalah suatu kemestian, berharap akan diterimanya amalan yang telah dilakukan, berharap diterima taubatnya, berharap agar dosa-dosanya diampuni dan seterusnya.

Lalu, apakah dengan modal berharap saja cukup? Berharap akan kasih sayang Allah sementara kita mengabaikan rambu-rambunya? Berharap mendapatkan surga-Nya sementara kita melalaikan kewajiban-kewajiban dan melanggar larangan-larangan-Nya?

Kalau seandainya ada seorang petani yang mempunyai lahan luas, tetapi dia tidak mengolah, menanam dan merawatnya, akankah dia akan berharap panen dengan hasil yang baik?

Kalau seandainya ada pelajar yang sehari-hari menghabiskan waktu untuk bermain, menonton TV dan yang semisalnya tanpa mempedulikan pelajaran, akankah dia akan berharap mendapat nilai ujian yang baik?

Tentu petani dan pelajar tersebut tidak dapat berharap akan mendapatkan hasil yang baik, kalaupun mereka berharap, tentu itu hanya khayalan dan lamunan mereka saja.

Hal ini seperti orang yang senantiasa melakukan dosa-dosa bahkan meremehkannya kemudian dengan entengnya berkata, “Allah kan Maha pengampun”, “Allah akan mengampuni dosa selain syirik”

Berharap kepada Allah disertai dengan ketaatan
Sesungguhnya salafus shalih telah meletakkan roja (berharap) dan khouf (takut) pada tempatnya:

Abu Ishaq melihat Amr bin Syarahil pernah datang ke pembaringannya lalu berkata: “Andaikata ibuku tidak melahirkan aku” Lantas istrinya berkata: “Hai Abu Maisarah, bukankah Allah telah berbuat baik kepadamu? Dia telah memberimu hidayah menuju Islam. Dia juga telah memperlakukanmu begini?” Ia menjawab, “Benar, akan tetapi Allah telah memberitahu kita bahwa kita semua akan melewati jembatan di atas neraka dan tidak menjelaskan bahwa kita akan bisa selama daripadanya”

Abu Bakar Al-Muzani berkata: “Seandainya ada pengumuman dari langit bahwa hanya ada satu orang diantara kalian yang akan masuk surga, niscaya setiap orang harus berusaha menjadi satu orang tersebut. Dan seandainya ada pengumuman dari langit bahwa hanya ada satu orang diantara kalian yang masuk neraka, niscaya setiap orang harus berusaha menghindari agar tidak menjadi satu orang tersebut.

Hasan berkata: “Orang mukmin adalah orang yang tahu bahwa firman Allah adalah sama seperti yang Dia firmankan. Orang mukmin adalah orang yang paling baik amalnya dan paling kuat ketakutannya. Andaikan ia menginfakkan harta sebesar gunung, maka ia tidak merasa tenang sebelum melihat hasilnya secara nyata. Semakin bertambah keshalihannya, kebajikan dan ibadahnya, maka semakin bertambah pula kesulitannya untuk memejamkan mata dan berkata, “Aku tidak akan selamat”. Sedangkan orang munafik berkata: “Jumlah manusia sangat banyak, dosaku akan diampuni dan tidak ada masalah bagiku” Akibatnya ia lupa beramal, Ia hanya mengkhayal terhadap Allah.

Syaqiq Al-Balkhi berkata, “Orang mukmin itu seperti orang yang menanam pohon kurma dan merasa takut kalau-kalau akan tumbuh subur semak belukar”. Sedangkan orang munafik itu seperti orang yang menanam semak belukar dan berharap akan menuai buah kurma. Sungguh jauh panggang daripada api.

Allah azza wa jalla berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah” (Al-Baqarah: 218)

Siapa yang berharap akan rahmat Allah? Ibnul Qayyim Al-Jauziyah berkata: “Allah subhanahu wa ta’ala menjadikan orang-orang tersebut yang berhak mengharapkan rahmat-Nya, bukan orang-orang yang zhalim dan orang-orang fasiq.

Ibnu Mas’ud Radhiallaahu ‘anhu pernah berkata: ”Seorang mukmin melihat suatu dosa seakan-akan ia duduk dibawah gunung dan takut jikalau gunung itu menimpanya dan orang fajir (pendosa) melihat dosa bagaikan lalat yang lewat didepan hidungnya seraya berkata “begini”, Ibnu Syihab menafsirkan: yakni berisyarat (mengebutkan) tangannya didepan hidung untuk mengusir lalat.

Oleh karena itu, sudah semestinya bagi kita untuk seperti petani kurma yang teliti memilih benih, menyiapkan lahan dengan baik, menyirami dan memupuknya, memelihara dari gangguan hama dan penyakit, kemudian berharap akan panen yang baik, bukan seperti petani yang menanam belukar dengan mengharap memanen kurma.

Referensi:
1. Jawabul Kafi liman sa’ala ‘anid Dawa’I Syafi, Ibnul Qoyyim edisi bahasa Indonesia. Terapi penyakit dengan Al-Quran dan As-Sunnah penerbit Pustaka Amani
2. 1000 Hikmah Ulama Salaf (Kisah-kisah pilihan dalam Hilyatul Auliya’) karya Shalih bin Abdul Aziz Al-Muhaimid, penerbit Pustaka Elba.

0 komentar: