01.Pengantar
Dalam periodisasi sejarah kebudayaan Indonesia dikenal adanya beberapa tahapan secara garis besar, yaitu masa prasejarah yang merupakan perkembangan kebudayaan yang paling awal, seluruh kepulauan Indonesia mengalami tahapan prasejarah tersebut. Masa prasejarah kira-kira berakhir dalam abad ke-4 M dengan ditemukannya bukti tertulis awal di Nusantara. Masa prasejarah mempunyai suatu era penting yang dinamakan megalitik, dalam era itu penduduk kepulauan Indonesia telah menghasilkan bermacam monumen megalitik sebagai sarana pemujaan kepada arwah leluhur (ancestor worship). Aktivitas dalam era megalitik tersebut tidaklah terhenti, melainkan di beberapa tempat terus berlanjut hingga masa sejarah sudah dikenal oleh penduduk kepulauan Nusantara, bahkan ada yang terus bertahan hingga dewasa ini.
Kemudian disusul masa transisi antara periode prasejarah dan sejarah yang dinamakan proto-sejarah. Pada prinsipnya proto-sejarah mempunyai dua ciri, yaitu (a) di suatu tempat telah dijumpai bukti tertulis yang diduga aksara namun belum dapat dibaca, dan (b) berita tentang suatu wilayah telah dicatat oleh bangsa lain yang telah mengenal tulisan, sementara itu penduduk wilayah tersebut belum mengenal tulisan. Masa proto-sejarah terjadi secara berbeda-beda di wilayah Indonesia, ada yang hanya singkat saja, namun ada pula yang berlangsung selama beberapa abad.
Ketika penduduk kepulauan ini telah mengenal aksara dan meninggalkan berita tertulisnya, maka sejak itulah penduduk kepulauan Nusantara memasuki era sejarahnya. Dalam masa sejarah perkembangan kebudayaan Indonesia dapat dibagi menjadi periode Hindu-Buddha, periode masuk dan berkembangnya Islam, kolonialisme Belanda, dan kemerdekaan Indonesia. Kajian ini selanjutnya membicarakan periode Hindu-Buddha Indonesia, khususnya yang berkembang di wilayah Jawa bagian tengah. Dalam telaah kebudayaan Indonesia, masa perkembangan pengaruh Hindu-Buddha tersebut lazim dinamakan zaman Klasik Indonesia.
02.Gaya Seni Klasik Tua
Pada galibnya suatu zaman dalam sejarah kebudayaan sesuatu bangsa dinamakan Klasik apabila mempunyai dua ciri:
1.
Masyarakat manusia dalam zaman itu telah menghasilkan tonggak-tonggak peradaban pertama yang akan menjadi dasar perkembangan peradaban selanjutnya di masa yang lebih kemudian, misalnya (mulai digunakan tulisan, sistem kalender, sistem kerajaan, konsep kepahlawanan, mitologi dewa-dewa, dan lainnya lagi).
2.
Banyak kaidah, aturan, konsep atau norma budaya yang berkembang dalam zaman tersebut terus saja digunakan hingga masa sekarang, jadi di zaman sekarang seringkali masih mengacu kaidah lama yang pernah berkembang sebelumnya di zaman awal kegemilangan peradaban bangsa tersebut.
Bagi bangsa Indonesia, zaman Klasik yang sesuai dengan kedua syarat tersebut adalah masa perkembangan agama Hindu-Buddha di Nusantara, oleh karena itu masa Hindu-Buddha kemudian dinamakan zaman Klasik Indonesia.
Berdasarkan berbagai tinggalan arkeologisnya, zaman klasik dibagi menjadi dua periode, yaitu (a) zaman Klasik Tua yang berkembang antara abad ke-8—10 M, dan (b) zaman Klasik Muda berkembang antara abad ke-11—15 M. Kedua zaman itu berkembang di berbagai wilayah Indonesia, termasuk di Sumatera dan Bali, namun banyak bukti arkeologi dalam zaman Klasik Tua didapatkan di wilayah Jawa bagian tengah, oleh karena itu terdapat kepustakaan yang menyatakan agak keliru dengan sebutan “Zaman Jawa Tengah”. Adapun untuk zaman Klasik Muda disebut juga secara keliru dengan “Zaman Jawa Timur”, berhubung banyaknya temuan arkeologi dari abad ke-11—15 (sebenarnya baru mulai banyak sejak abad ke-13) yang terdapat di wilayah Jawa bagian timur. Justru pembagian zaman Klasik yang didasarkan kepada kronologi tersebut untuk memperluas cakupan kajian, jadi tidak melulu bicara tentang tinggalan di Jawa bagian tengah atau timur belaka (Munandar 1995: 108).
Masa sejarah di Indonesia dimulai setelah ditemukannya bukti prasasti-prasasti awal (bertarikh sekitar abad ke-4 M) ditemukan di wilayah Kutai, Kalimantan Timur yang menyebut nama raja Mulawarmman dan Jawa bagian barat yang menyebutkan Kerajaan Tarumanagara dengan rajanya Purnnawarmman.Prasasti-prasasti itu menggunakan aksara Pallava dengan bahasa Sansekerta (Suleiman, 1974: 14—15); sedangkan nafas keagamaan yang terkandung dalam prasasti-prasasti tersebut bercorak Veda kuno, masih belum memuja Trimurti. Dalam masa sejarah itulah pengaruh kebudayaan India mulai datang dan berkembang secara terbatas di beberapa tempat di Nusantara.
Dalam masa selanjutnya pengaruh kebudayaan India awal yang menularkan ajaran Veda-Brahmana tersebut agaknya tidak diminati lagi oleh masyarakat. Dengan menghilangnya kerajaan Tarumanagara di Jawa Barat tidak ada kerajaan lainnya yang meneruskan ritual Veda Kuno yang didominasi oleh kaum Brahmana. Alih-alih kerajaan yang muncul kemudian di wilayah Jawa bagian tengah dalam abad ke-8 M bernafaskan Hindu Trimurti. Kerajaan itu adalah Mataram Kuno yang mengeluarkan Prasasti Canggal dalam tahun 732 M, dalam prasasti itu dinyatakan nama raja yang menitahkan penerbitan prasasti, yaitu Sanjaya. Nafas keagamaan yang cukup kentara dalam prasasti adalah Hindu-saiva, karena bait-baitnya banyak memuliakan Siva Mahadeva (Poerbatjaraka 1952: 53—55).
Bersamaan dengan masuknya pengaruh Hindu-saiwa, dalam masa yang hampir bersamaan datang pula pengaruh agama Buddha dari aliran Mahasanghika (Mahayana) ke tengah-tengah masyarakat Jawa Kuno. Dengan demikian di Jawa bagian tengah antara abad ke-8—10 M berkembang 2 agama besar, yaitu Hindu-saiwa dan Buddha Mahayana yang beraasal dari Tanah India. Dalam perkembangannya itu banyak dihasilkan berbagai bentuk kesenian, seni yang masih bertahan hingga sekarang adalah bukti-bukti seni rupa yang berupa arca dan relief serta dan kemajuan karya arsitektur bangunan suci. Demikianlah risalah singkat ini memperbincangkan perihal zaman Klasik Tua yang berkembang di wilayah Jawa bagian tengah, bukan di wilayah lainnya di Indonesia. Bukti arkeologis yang akan dijadikan data, adalah penggambaran relief dan arca-arca dewa, baik yang dikembangkan dalam lingkup kebudayaan India, dan juga arca dan relief yang dihasilkan oleh kebudayaan Klasik Tua di masa Jawa kuno di Jawa tengah.
03.Hellenisme
Dalam sejarah kebudayaan India, setelah zaman Mohenjodharo dan Harappa, berkembanglah kesenian yang pertama kali muncul di Tanah India, yaitu gaya seni Maurya. Gaya seni Maurya dapat dinyatakan sebagai bentuk akulturasi dari berbagai gaya kesenian yang tumbuh di zaman itu, yaitu meneruskan gaya seni Lembah Sungai Sindhu Kuno, ditambah dengan pengaruh gaya seni Persia (achaemenid) yang sebenarnya sangat mengagumi perkembangan seni rupa Hellas (Yunani Kuno). Raja Chandragupta (322—298 SM), dan Bindusara Maurya (297—272 SM) dikenal sebagai orang yang Hellenophile, mereka pencinta kebudayaan Hellas (Wirjosuparto 1956: 24).
Orang Yunani kuno menyebut diri mereka sendiri dengan Hellenes, segala sesuatu yang dipandang sebagai milik budaya mereka disebut Hellenic. Adapun bentuk kebudayaan Yunani Kuno yang berkembang sesudah masa Alexander the Great disebut Hellenistic, yang artinya “seperti atau mirip, tetapi tidak sungguh-sungguh Yunani” (Cairns, 1985: 93). Sedangkan paham untuk mengembangkan dan mempelajari kebudayaan Hellenistic yang berkembang di India kemudian disebut dengan Hellenisme.
Perkembangan seni rupa Maurya sejatinya telah mendahului, perkembangan bentuk kesenian Hellenistic yang dibawa bersama masuknya kekuasaan Alexander the Great ke India bagian utara, beberapa abad kemudian. Kesenian Hellenistic dalam masa sesudah masuknya Alexander the Great sebenarnya melanjutkan saja bentuk anasir kesenian Yunani Kuno yang telah dikenal dalam zaman Maurya.
Dalam perkembangan seni arca India, gaya seni arca Maurya merupakan titik pangkal perkembangan seni arca selanjutnya. Pada awalnya seni arca Maurya dipresentasikan dalam wujud yang serba besar, dan bersifat statis. Setelah mendapat pengaruh anasir seni arca Achaemenid dan Hellas, maka bentuk arca Maurya mengarah kepada bentuk yang halus, lemah lembut, bersifat plastis, ciri-ciri itulah yang kemudian diteruskan oleh bentuk seni arca India selanjutnya (Wirjosuparto 1956: 32).
Maka dalam awal abad ke-3 SM mulailah pengembaraan tentara Yunani dipimpin oleh Alexander the Great ke wilayah timur untuk menaklukkan wilayah-wilayah kekuasaan Persia. Dalam tahun 331 SM ia berhasil mengalahkan tentara Persia dan menewaskan rajanya. Tentara Yunani juga menaklukkan wilayah-wilayah di Syria, merebut Tyre setelah dikepung cukup lama, menguasai Memphis dan merebut seluruh wilayah Mesir Kuno (Cairns 1985: 87). Setelah mengusai Persia Alexander mulai mengarahkan tentaranya ke tanah India, dalam tahun 327 SM tentara Yunani melalui lembah-lembah pegunungan Hindukush masuk ke India utara. Perjalanan mereka dibantu oleh Raja Taksaśilā, raja ini sadar untuk tidak perlu melawan Alexander mengingat tentara yang dipimpinnya sangat banyak, dan pastinya ia akan kalah sia-sia. Setelah berada di wilayah pedalaman, tentara Alexander segera mendapat perlawanan dari orang-orang India. Salah satu peperangan penting terjadi antara tentara Alexander dengan bala tentara Raja Paurawa (Poros) yang menantikan musuhnya dengan tentara yang terdiri dari 200 ekor gajah, 30.000 prajurit infanteri, 4000 prajurit kavaleri, dan 300 kereta perang yang masing-masing dihela 4 kuda yang mampu mengangkut 6 prajurit. (Prijohutomo 1953: 16).
Semua kekuatan tentara Paurawa itu tidak mampu membendung serangan tentara Yunani, dalam pertempuran di Hidaspes angkatan perang Paurawa binasa, karena hantaman tentara Yunani dan juga karena gajah-gajah mereka sendiri yang menjadi liar akibat serangan berkuda yang melaju pesat dari tentara Yunani. Raja Paurawa ditangkap secara terhormat karena keyakinannya yang gigh membela tanah airnya, pada akhirnya Paurawa dilepaskan dan tetap dirajakan oleh Alexander dan menjadi sekutu orang-orang Yunani yang penting di India (Prijohutomo 1953: 16, Cairns 1985: 91). Perjalanan bala tentara Yunani kemudian diteruskan memasuki pedalaman India ke lembah Sungai Gangga, akan tetapi ketika sampai ke pinggir Sungai Bias, bala tentaranya mogok dan menyatakan tidak bersedia meneruskan penyerangan merebut kota-kota musuh dan menguasai daerah baru di India. Mereka menyatakan ingin kembali ke Yunani yang telah lama ditinggalkan (Prijohutomo 1953: 17, Mulia 1959: 23). Pada tahun 326 SM, sebelum melakukan perjalanan kembali, Alexander memerintahkan bala tentaranya untuk mendirikan 12 kuil yang sebagai ungkapan terima kasih kepada dewa-dewa Yunani, kuil-kuil itu dilengkapi dengan arca-arca dewa yang tentunya dibuat menurut gaya seni Hellas. Perjalanan kembali tidak melewati rute yang sama dengan kedatangannya, oleh karena itu tentara Yunani yang jumlahnya puluhan ribu tersebut melalui Sungai Indus menghilir terus ke arah muaranya di Laut Arab. Dalam perjalanan tersebut kerajaan yang ada di tepi Sungai Indus menghadang dan mengadakan perlawanan, sampai 3 kali Alexander dan tentaranya melakukan peperangan dalam perjalanan menghilir Sungai Indus. Sesampainya di tepi Laut Arab dibukalah pelabuhan baru atas nama Alexander. Perjalanan dilanjutkan dengan dua cara, sebagian menempuh perjalanan laut melalui Teluk Persia, dan sebagian lainnya dengan dipimpin sendiri oleh Alexander kembali ke Babylonia melalui perjalanan darat. Perjalanan darat itulah yang mengakibatkan banyak korban jatuh akibat kelelahan, kehausan, kelaparan, penyakit, dan peperangan-peperangan dengan suku-suku di pegunungan dan gurun. Akhirnya Alexander tiba di Babylonia, sempat menikah dengan seorang putri bernama Roxana, Alexander meninggal dalam usia yang muda dalam umur 32 tahun (Mulia 1959: 24, Cairns 1985: 91)
Dapatlah dipahami bahwa masuknya anasir kesenian Yunani ke Tanah India dalam masa sesudah kerajaan Maurya adalah akibat dibawa langsung oleh orang-orang Yunani sendiri. Selain mengembangkan pengaruh kekuasaannya, orang-orang Yunani juga pada dasarnya membawa kesenian, terutama seni arca dan reliefnya. Dalam masa Gandhara perkembangan kesenian Hellenistic berlangsung dengan pesat, sehingga lahirlah paham Hellenisme yang menjadikan kesenian Yunani sebagai ukuran keindahan seni. Seni Gandhara terutama dikenal karena kemampuannya dalam mengembangkan kesenian Buddha, kesenian inilah yang pertama kali melukiskan tokoh Buddha sendiri. Sebelum itu Buddha hanya digambarkan dengan berbagai lambangnya, misalnya cakra, tapak kaki, dan petarana kosong. Kesenian Gandhara yang Hellenistic tersebut akan banyak mempengaruhi gaya seni selanjutnya di India (Prijohutomo 1953: 30). Kesenian Mathura yang berkembang agak lebih muda dari Gandhara, banyak terpengaruh pula oleh kesenian Gandhara terutama dalam penggambaran arca-arca Buddha dan Bhodhisattvanya. Kelenturan plastis yang dikembangkan oleh seni arca Mathura sebenarnya memperoleh pengaruh pula dari kesenian Gandhara, karena sejak abad pertama dan hingga abad ke-2 M, kesenian Gandhara masih menjadi acuan pengembangan kesenian Mathura (Wirjosuparto 1956: 48—49).
Kesenian Klasik India yang memuncak dalam zaman Gupta (sekitar tahun 300—600 M) merupakan perkembangan dan perpaduan lebih lanjut antara seni arca Gandhara dan Mathura. Jadi secara tidak langsung kesenian Gupta juga menyimpan pengaruh seni arca Gandhara terutama dalam penggambaran arca-arca Bauddhanya. Sebagaimana telah diketahui pada akhirnya agama Buddha Mahayana berkembang juga di Pulau Jawa, bahkan berhasil membangun monumen besar yang penuh dengan nilai estetika, yaitu Candi Borobudur. Maka tidak dapat dipungkiri lagi bahwa kesenian Buddha dari India juga yang pada awalnya diperkenalkan kepada pemeluk agama Buddha di Jawa. Artinya anasir-anasir dari seni arca Gupta, Mathura, dan Gandhara yang Hellenistic juga memasuki dan mempengaruhi perkembangan seni arca dan relief di Jawa. Risalah singkat ini selanjutnya hendak menilik beberapa anasir seni Gandhara yang memasuki kesenian Jawa Kuno dalam zaman Klasik Tua, melalui perpaduannya dengan kesenian India lainnya, terutama periode Gupta.
04. Jejak Anasir Seni Arca Hellenistic dalam kesenian Klasik Tua di Jawa
Bersamaan dengan berkembangnya agama Buddha di Jawa, maka kesenian Buddhapun berkembang pula, karena kesenian dan aktivitas keagamaan pada masa itu merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Setelah memperhatikan ciri penggambaran relief yang terdapat di candi-candi Buddha masa Klasik Tua di Jawa Tengah, antara lain di Candi Borobudur, maka dapat disimpulkan adanya anasir seni yang mungkin meneruskan tradisi seni Hellenistic Gandhara yang diserap oleh kesenian Mathura dan Gupta yang pada akhirnya masuk ke Jawa.
Dalam penggambaran relief di candi-candi masa Klasik Tua di Jawa Tengah, dapat dikatakan adanya pengaruh Gandhara dalam kesenian Gupta yang akhirnya menjadi ciri seni relief Jawa, namun apabila ditelusuri ciri itu dapat dirunut kembali kepada bentuk kesenian Hellenistic Gandhara. Dalam seni relief beberapa anasir Gandhara itu adalah:
a.Bentuk relief tinggi
Awalnya terdapat dalam pahatan-pahatan seni relief Gandhara yang membuat figur tokoh-tokoh menjadi lebih menonjol dari bidang pahatan.
b.Gaya naturalis
Salah satu ciri yang terdapat dalam pemahatan relief masa Klasik Tua adalah gaya naturalis, gaya demikian sebenarnya telah dikenal sejak zaman kesenian Gandhara. c.Wajah digambarkan en-face, menghadap ke pengamat
Dalam pemahatan relief wajah tokoh-tokoh dibuat menghadap ke pengamat, gaya ini terdapat dalam pemahatan relief cerita Karmmavibhangga, Lalitavistara dan lainnya di Candi Borobudur.
0 komentar:
Post a Comment